Sabtu, 22 Desember 2007

Menggagas Islam Inklusif Neo-Moderat




Judul ini Bukanlah upaya penulis untuk mengaku seorang Nabi yang membawa gagasan Islam baru , namun memang harus ada titik balik pemecahan konflik multikuralisme di ranah keagamaan . Gagasan ini memang bukan barang baru dalam wacana diskusi para cendikiawan muslim ataupun nonmuslim, namun penulis mencoba menyederhanakan pemahaman tentang inklusifisme yang terkadang disalahpahami sebagai gagasan sesat yang diajukan untuk mendangkalkan aqidah umat islam dengan bahasa keawaman penulis.

Pemahaman inklusifisme
Inklusifisme berbeda dengan pluralisme yang lebih berani mengatakan bahwa semua agama adalah jalan kebenaran menuju kepada satu kebenaran mutlak , namun paham inklusif tak lebih dari hanya kerendahan hati kita untuk mengakui eksistensi ajaran agama lain, bahwa semua agama dalam batasan duniawi merupakan sebuah pemahaman yang baik dan menganjurkan umatnya untuk melakukan hal-hal yang tidak bertentangan dengan hati nurani, karena bagi penulis, ajaran agama yang tidak sesuai dengan kecocokan hati bukanlah agama. Di Indonesia gagasan ini dikemukakan oleh Cak Nur, seorang guru bangsa yang dengan gagasnnya membawa muridnya ke sejumlah gerbang pemikiran baru tentang keislaman dan kemoderenan .
Gagasan ini berawal dari fakta multikulturalisme dan pluralitas yang memang menjadi sunnatullah, sebagaimana tersebut dalam surah Al-Hujurat:13. Dalam keniscayaan keragaman itulah benih-benih konflik terus mengakar menjadi sebuah bom waktu yang siap meledak kapan saja. Lalu mengapa disebut inklusif ? apakah tidak cukup dengan mengatakan itu sebagai toleransi keagamaan yang sering diajarakan oleh ibu dan bapak Guru sewaktu kita masih duduk di bangku sekolah dasar, lalu apa bedanya ?
Bagi penulis toleransi dan inklusifitas merupakan tema yang sama , yaitu sebuah pengakuan ( bukan persamaan ) kepada eksistensi nilai agama-agama yang lain , karena Jikalau dikaji lebih dalam, secara abstrak semua agama mengakui akan “ ke-Esaan Tuhan “ . Lalu jika kita lihat pemakaian kata toleransi tak terlepas dari kultur melayu yang dahulu hinggap di tengah-tengah kehidupan bangsa Indonesia, dan kalaupun sekarang berganti menjadi inklusif itu tak lebih dari banyaknya pembahasaan dari barat yang masuk ke Indonesia. Inklusifisme tidak mengatakan bahwa semua agama adalah benar dalam kemutlakannya, namun semua agama adalah baik dan benar menurut porsi agama itu masing-masing . Islam adalah agama yang benar menurut kitab suci pegangannya, kristen-pun dalam kitab suci pegangannya merupakan agama yang benar, begitu seterusnya. Maka dikenallah istilah "relatifitas kebenaran" , yaitu bahwa tidak ada kebenaran yang bersifat universal dan mengglobal, karena semua kepala mempunyai pendapatnya masing-masing tentang kebenaran yang diakuinya. Namun perlu diyakini kembali bahwa kebenaran itu adalah mutlak adanya , dan tidak ada 2 kebenaran dalam 2 agama sekaligus, dalam artian bahwa hanya satu agamalah yang paling benar, dan itu tergantung dari keyakinan kita secara Individual. Bagi saya yang lahir dari kultur keislaman yang kuat , saya sangat meyakini bahwa Islam-lah agama yang paling hebat diantara yang lainnya , ditinjau dari sudut pandang pencarian saya, namun saya berbesar hati untuk mengatakan bahwa tidak mustahil bahwa agama lainpun mempunyai nilai kebenaran yang sama, karena saya tidak ingin sok tahu dalam membaca dan memahami pesan Tuhan yang begitu misterius, bisa jadi Allah lebih mencintai kaum nasrani dibandingkan oleh orang muslim , siapa yang menjamin ?

Apa yang diinginkan Inklusifisme ?
Seorang Dosen saya dalam sebuah kesempatan perkuliahan pernah menyampaikan bahwa seorang nonmuslim yang menjalankan agamanya dengan baik lebih beliau hormati daripada seorang muslim yang tidak mengamalkan ajaran agamanya sendiri. Dalam artian , kriteria baik tidaknya seseorang bukan hanya dinilai dari sebuah agama yang dianutnya, namun lebih dari itu semua bagaimana seseorang mengaplikasian nilai-nilai esensial dari sebuah ideology yang dianutnya, Seorang ulama besar Mesir Muhammad Abduh pernah mengutarakan satu perkataan yang begitu terkenal ketika berkunjung ke perancis, beliau mengatakan “ saya melihat Islam di paris namun sedikit umat muslim, namun saya melihat banyak muslim di Mesir tapi sedikit sekali Islam “ .
Sebenarnya ungkapan itu merupakan satu pengkritikan terhadap perilaku Umat Muslim dalam pandangan Abduh yang kurang mengaplikasikan ke-Islamannya, sebagai contoh kecil adalah negara tetangga kita Singapura – walaupun saya belum pernah menginjakkan kaki di negara tersebut – yang mayoritas non Muslim, namun dari cerita teman yang pernah berkunjung kesana, mereka mengisahkan bahwa masyarakat disana sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebersihan , sehingga lingkungan disana sangat bersih dan apik, sebaliknya jika kita lihat di negara kita sendiri Indonesia, nilai-nilai itu seakan hanya sebatas teori bijak yang disampaikan dalam forum-forum diskusi semata, padahal Indonesia dengan Mayoritas muslim di dalamnya sangat mengenal sekali Istilah “ Annadzzofatu minal Iman “ yang merupakan hadist Rasululllah SAW. Namun bukan berarti penulis mengklaim bahwa ini berlaku kepada seluruh muslim Indonesia , tapi dari hal kecil itu kita lihat betapa umat non muslim Singapura sangat “Islami” dalam pengamalan ke-duniawian mereka, atau seperti saudara kita di jepang yang mayoritas beragama sinto , mereka sangat menghargai waktu dan merasa sangat merugi bila waktu yang ada disia-siakan begitu saja . Di Indonesia, seperti terlihat di jalanan JABODETABEK setiap harinya yang selalu diganggu oleh para pencari amal sumbangan untuk pembangunan Masjid-masjid di daerahnya, dengan alasan bahwa Islam membuka pintu Sodaqoh Jariyah , terkadang malahan hal itu menjadi sumber penghasilan bagi segelintir orang, dan banyak pula terjadi penyelewengan. Berbeda dengan umat kristiani, mereka lebih terorganisir dalam membangun rumah peribadatan mereka sendiri, walaupun mereka adalah kaum minoritas di negara ini. Lalu apakah kita tidak mau mencontoh mereka , sebab mereka kita anggap adalah orang kafir, dan mengikuti orang kafir berarti kafir pula.
Inklusifisme seperti yang telah dijelaskan diatas merupakan suatu sikap kerendahan hati kita untuk mengakui kebaikan nilai-nilai ajaran agama di luar Islam dalam tataran eksoterik atau keduniawian, bukankah semua agama mengajarkan untuk menjaga kebersihan dan keindahan , bukankah semua agama menghimbau umatnya untuk saling menghargai dan menghormati, terlepas dari adanya paham keagaamaan yang menyuruh pengikutnya untuk bersetubuh dengan lawan jenisnya untuk menyucikan diri misalkan, karena seperti yang saya ungkapkan diawal, bahwa yang disebut ajaran agama adalah yang tidak bertentangan dengan nurani.

Seruan kepada jalan kebenaran
Dalam sebuah ayat Allah Swt berfirman : Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

Di dalam inklusifitas Islam tidak berarti menafyikan seruan kepada sebuah jalan kebenaran ( Islam ) , namun sifat seruan itulah yang harus kita renungkan. An-Nahl 125 sangat relevan dengan kondisi umat sekarang. Ayat ini hanya memasukkan tiga hal, bukan yang lain: kebijaksanaan, pesan yang baik, dan adu argumentasi. Di dalamnya tidak masuk aksi kekerasan, persekusi, atau upaya pembumihangusan. Semangat inilah yang mestinya dijunjung tinggi oleh siapa pun yang merasa “pemilik” kebenaran. Al-Quran sangat mengagungkan proses dialektika.
Ayat tersebut adalah sindiran bagi kelompok yang sering “mendewakan” aksi fisik. Dengan diskusi tersebut semoga pihak yang hobi main hakim, main geruduk, akan berpikir ulang bahwa aksi mereka tersebut bukanlah cara terbaik.
Ini berarti dalam mengajak seseorang untuk menerima nilai keislaman yang haqiqi, hendaklah tidak dengan jalan pemaksaan , namun Al-qur’an mengajarkan untuk menyeru mereka dengan kebaikan pekerti dan akhlak yang mulia, lalu Al-Qur’an memerintahkan untuk membuktikan kebenaran Islam dengan perdebatan yang baik.
Dalam hal ini , cobalah kita lihat tokoh besar seperti DR.Ahmad Deedat ( alm ) , beliau adalah ahli kristologi afrika selatan, yang mendakwahkan Islam dengan cara yang disebut Al-qur’an sebagai jaadilhum billati hiya Ahsan (Bantahan dengan cara yan baik ) , beliau mengajak ulama-ulama kristiani untuk membuktikan nilai ajaran agama mereka masing-masing . dengan cara itu beliau banyak meyakinkan banyak orang akan kebenaran Islam yang mulia. Atau seperti yang baru-baru ini terjadi di Negara kita dengan munculnya Nabi baru bernama Ahmad Mushaddaiq, yang sebelum pertaubatannya, dia beradu argument terlebih dahulu dengan Salah satu Alim Indonesia tentang kebenaran ajaran yang dibawanya , sehingga pada akhirnya dia mengakui akan kekeliruannya dalam menafsirkan apa yang telah diyakininya .
Selanjutnya Inklusifisme menginginkan agar kita saling bahu membahu dalam memecahkan segala problematika kemanusiaan yang ada dewasa ini , entah itu kemiskinan , kebodohan dan lainnya.
Apakah dengan kita mencaci maki ajaran agama lain, anak-anak miskin Indonesia mampu untuk memperoleh pendidikan yang layak ? , atau dengan kita menjauhi penganut agama lain , rakyat miskin di pelosok pedesaan dan pinggiran kota bisa makan minimal 3 kali dalam sehari ? serta berbagai contoh problematika lainnya.
Inilah yang bagi penulis disebut dengan Kemoderatan baru ( Neo- Moderat ) yang Dengan kita mampu saling membantu dalam hal muamalah itulah dan tanpa mendangkalkan akidah kita sendiri terhadap nilai ajaran yang kita yakini , Insya Allah kita mampu keluar dari krisis multidimensi ini , dan bisa kembali bangkit menatap masa depan Indonesia yang lebih cerah, tanpa banyaknya prasangka buruk yang selalu menghantui jiwa kita . Wallahu A’lam

Tidak ada komentar: