Rabu, 16 Maret 2011

Agama dah Ketauhidan

Setidaknya secara sederhana, ada 5 hal yang menjadikan agama itu dikatakan benar dan sah menjadi sebuah keyaikinan spiritual ; eksistensi dzat yang disebut Tuhan, penyeru risalah ke-Tuhan-an ( nabi dan Rasul ), sebuah ajaran yang terkodifikasi ( kitab suci ), dimana seorang penyerunya dilahirkan, kemudian keberadaan makam sebagai bukti eksistensinya. Jika salah satu dari ke-5 hal tersebut tidak terpenuhi, maka perlu ada kroscek ulang untuk melegitimasikan sebuah jalan tersebut benar-benar “jalan menuju Tuhan “atau justru kepada “ke-syirikan “.
Dalam Islam kita mengenal Allah, Tuhan yang memiliki ke-Maha-an yang beraneka ragam;Maha Pencipta, Maha Pengsih, Maha Penyayang,Maha pelindung, Maha Penjaga, Maha Agung, Maha Suci, Maha Esa serta 99 ke-Maha-an lainnya, yang terangkum dalam “Al-Asma Al-Hunsa” (nama-nama yang indah bagi Allah ) sesuai dengan apa yang disabdakan Rasulullah SAW dalam beberapa riwayat. Keberadaan nama-nama Tuhan ini dan pen-sifat-an yang diyakini oleh kaum muslimin,menjunjukkan akan eksistensi Allah sebagai Tuhan bagi mereka.Nabi Muhammad sebagai pembawa risalahnya dengan kitab suci Al-qur’an sebagai ajaran yang telah terkodifikasi dengan sah dan tanpa ada tahrif ( penyelewengan ) dari isi yang termaktub dalam Al-qur’an ( setidaknya hal itu dibuktikan dengan fakta-fakta valid yang tak terbantahkan tentang ke-asli-an teks Al-qur’an). Keberadaan nabi Muhammad SAW pun sebagai seorang manusia utusan Tuhan dapat terlacak dengan baik, bukti2 fisik dan non fisik dapat kita lihat di sekitar Tanah Makkah dan Madinah, tempat dimana Rasulullah SAW dilahirkan kemudian wafat dan dikuburkan.
Berbeda dengan islam, Kristen sebagai sebuah “system ketaatan” sedikit mengalami distorsi sejarah yang berimbas fatal kepada system ke-Tuhan-an yang mereka percayai. Mereka menganggap bahwa Tuhan Allah mengalami “transformasi” fisik kedalam diri Yesus Kristus ( Nabi Isa AS, dalam kepercayaan islam) dan dilahirkan kedunia untuk memberi petunjuk kepada umat manusia, kemudian menjelma menjadi Ruhul Quds pasca kematian “Tuhan” itu sendiri di tiang salib. Kodifikasi kitab langit yang mereka yakini pun mengalami sejarah panjang yang kompleks. Setidaknya ada 13 Injil yang pernah diketahui eksis di kalanngan agamawan nasrani. Singkatnya, di Nicea ( sekarang Turki ) diselenggarakan konsili nicea pertama yang dihimpunkan oleh Kaisar Romawi Konstantinus Agung pada tahun 325 M, itu merupakan Konsili Ekumenis yang pertama dari Gereja Kristiani, dan hasil utamanya adalah keseragaman dalam doktrin Kristiani, yang disebut Kredo Nicea. Disana disepakatilah oleh para agamawan nasranai ( dengan cara pemungutan suara terbanyak ) bahwa injil yang mempunyai legitimasi hukum di mata gereja adalah injil yang kita kenal saat ini, dan konsekuensinya adalah pemusnahan semua injil-injil yang bertentangan secara doktrin dengan injil yang disepakati. Hal ini menimbulkan ambiguitas doktrin nasrani dikemudian hari yang menyebabkan penyelewengan akidah ke-Tuhan-an secara radikal. Pertanyaannya adalah, apakah lalu doktrin tritunggal yang diyakini oleh kaum nasrani benar-benar absolute untuk diyakini ?.
Ketika menginjak ke ranah agama yang bukan dikategorikan sebagai “ agama langit “( yahudi, nasrani dan islam) kita akan menemukan bahwa ajaran-ajaran yang berkembang disana sesuai dengan pengalaman spiritual si empunya “ajaran”. Hindu contohnya, agama ini masuk dalam kategori politeisme karena memuja banyak dewa. Di antara Dewa-Dewi dalam agama Hindu, yang paling terkenal sebagai suatu konsep adalah: Brahma, Wisnu, Siwa. Mereka disebut Trimurti. Bagi para penganutnya , dewa adalah makhluk suci, makhluk supernatural, penghuni surga, setara dengan malaikat, dan merupakan manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa. Pembawa ajaran yang berasal dari negeri India sekitar tahun 3102 SM sampai 1300 SM ini pun tidak jelas. Secara ontologis kata Hindu merujuk pada masyarakat yang hidup di wilayah sungai Sindhu. Hindu sendiri sebenarnya baru terbentuk setelah Masehi ketika beberapa kitab dari Weda digenapi oleh para brahmana. Pada zaman munculnya agama Buddha, agama Hindu sama sekali belum muncul semuanya dan masih dikenal sebagai ajaran Weda. Agama budha dan konghucu pun secara doktrin ajaran ke-Tuhanan tidak jauh berbeda dengan hindu, yaitu menganut paham politeisme.

Paham ke-Esa-an Tuhan di setiap agama
Jika hanya sekilas kita membaca tentang masing2 ajaran di setiap system kepercayaan ( baca;agama), maka kita seakan tidak menemukan sebuah paham peng-Esaan Tuhan selain pada konsep agama Islam.Namun jika kita perhatikan lebih mendalam, maka kita akan menemukan bahwa di luar islam pun system monoteisme menjadi sebuah acuan, walaupun konsep monoteisme yang mereka bangun tidak cukup mapan untuk bertahan dari kritik-kritik logis para Filsuf dan pencari kebenaran.
Dalam agama Kristen, Tuhan tertinggi adalah Allah yang diakui sebagai Tuhan bapak, kemudian dzat Tuhan bertransformasi menjadi manusia dalam diri Yesus, yang kemudian bertarnsformasi kembali menjadi Holy spirit( Ruh Suci) pasca kematian Yesus. Konsep ini dikenal dengan Tritunggal ( satu adalah tiga, tiga adalah satu ). Bagaimanapun sulitnya pemahaman tentang konsep ini, yang perlu digarisbawahi adalah bahwa Tuhan bapak lah ( baca;Allah ) yang ada pada diri ke-2 dzat tuhan lainnya. Ini berarti ke-3 Tuhan yang diyakini oleh kaum nasrani hakikatnya berporos pada satu zat mutlak, yaitu Tuhan itu sendiri. Jika memang seperti ini, maka Monoteisme ( paham ke-esaan Tuhan ) juga berlaku di ajaran kristiani. Hindu pun demikian, ajaran ini seringkali dianggap sebagai agama yang beraliran politeisme karena memuja banyak Dewa, namun tidaklah sepenuhnya demikian. Dalam agama Hindu, Dewa bukanlah Tuhan tersendiri. Menurut umat Hindu, Tuhan itu Maha Esa ( Sang Hyang Widi ) tiada duanya. Dalam salah satu ajaran filsafat Hindu, Adwaita Wedanta menegaskan bahwa hanya ada satu kekuatan dan menjadi sumber dari segala yang ada (Brahman), yang memanifestasikan diri-Nya kepada manusia dalam beragam bentuk. Dalam Agama Hindu ada lima keyakinan dan kepercayaan yang disebut dengan Pancasradha. Pancasradha merupakan keyakinan dasar umat Hindu. Kelima keyakinan tersebut, yakni:
  1. Widhi Tattwa - percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan segala aspeknya
  2. Atma Tattwa- percaya dengan adanya jiwa dalam setiap makhluk
  3. Karmaphala Tattwa- percaya dengan adanya hukum sebab-akibat dalam setiap perbuatan
  4. Punarbhava Tattwa - percaya dengan adanya proses kelahiran kembali (reinkarnasi)
  5. Moksa Tattwa- percaya bahwa kebahagiaan tertinggi merupakan tujuan akhir manusia
Dari sini kita bisa mengambil konklusi bahwa sebenarnya ajaran tentang ke-Esa-an tuhan tidak mutlak dimonopoli oleh ajaran Islam semata, namun system kepercayaan di luar islam pun memilikinya. Hanya saja, apakah lalu kita mengambil kesimpulan bahwa setiap ajaran agama yang berpaham moneteisme ( dengan segala bentuknya ) benar dan mengantarkan manusia kepada Tuhan itu sendiri ? tentu tidak. Keatauhidan yang ada dalam ajaran islam tidak mengajarkan kepada konsep “transformasi dzat” ( dalam ajaran kristiani ) dan “widi tatwa” ( dalam ajaran hindu ).Islam mengajarkan kepada pensucian mutlak ( Tanzih ) dzat Tuhan dari pelbagai bentuk pengumpamaan makhluk-Nya ( Mukhalafatu Lilhawadist ) dan tidak pula ia dapat bertrasnformasi atau memiliki anak seperti kasus dalam ajaran kristiani. Banyak hujjah dan dalil yang dapat kita sebutkan untung menopang argument ini, salah satu yang paling tegas adalah firman Allah SWT dalam surat Al-Ikhlas : “ ( Hai Muhammad ), katakanlah : Dialah Allah yang Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia) “. Inilah yang bagi penulis dapat dikatakan sebagai Konsep Monoteisme teragung dan terlogis yang bisa kita pahami dengan akal sehat kita. –Isme tentang ke-Tuhan-an yang berporos pada penghambaan mutlak kepada Sang Pencipta, sekaligus penjaga, perusak ( istilah tugas dari dewa siwa dalam terminology hindu ) , juga sebagai Dzat yang menurunkan “Kalam “ kepada seorang utusan agung Nabi Muhammad SAW untuk menjadi petunjuk bagi segenap umat manusia.Wallahu A’lam

Kamis, 24 Februari 2011

EKONOMI ISLAM “ meretas jalan baru menuju rekonstruksi spiritualitas ekonomi “

Pendahuluan

Islam Sebagai salah satu Agama Samawi yang yang berporos kepada Pandangan Monotheisme, telah berabad-abad lamanya mengklaim dirinya sebagai Agama yang Syamil dan Kaamil, bertolak pada cakupan hukum yang terkandung dalam dua peninggalan terpenting Islam yaitu Al-Qur’an dan Assunnah yang memang tak bisa dibantah memiliki nilai Universalitas pandangan yang unik yang tidak dimiliki oleh Sistem Spiritualitas yang lain ( baca;agama ), mulai dari hal yang terlihat sepele seperti Mengatur pengikutnya tata cara makan dan minum yang baik, cara beristirahat, bermuamalah dengan sesama manusia ( baik Muslim atau non-muslim) sampai aturan-aturan besar berkenaan dengan hubungan internal dalam sebuah komunitas ( baca; Negara ) dan Eksternal dengan komunitas lain. Awalnya Semua Bermula dari sebuah komunitas kecil di kota Madinah ( yang saat itu bernama Yastrib ) yang kemudian merubah kejadulan peradaban dunia saat itu dengan sentuhan tangan dingin Seorang Muhammad SAW pada sekitar abad ke 7 Masehi, seperti yang ditulis oleh salah seorang Cendikiawan Muslim terkemuka Indonesia Prof.Dr.Nurchalis Madjid ( Cak Nur ) dalam bukunya “ Indonesia Kita “, beliau mengatakan Bahwa Negara Madinah (bukan Negara Islam ) yang dipimpin oleh Muhammad SAW memiliki Sistem pelembagaan pertama dan termaju di zamannya, dengan Piagam Madinah Sebagai Magnum Oppus yang melatarbelakangi terciptanya Peradaban baru tersebut yang kemudian disebut Peradaban Islam. Dalam hal politik misalnya, piagam madinah telah menyatukan Masyarakat dari berbagai suku untuk bersatu dalam satu bangsa yaitu bangsa Madinah, mengatur kebebasan beragama, dan menerapkan undang-undang keselamatan seperti hukuman qishas dan membentuk kesatuan politik dalam mempertahankan madinah.

Dalam mengatur transaksi keuangan antar masyarakat madinah saat itu , yang memang terkenal cukup maju, Muhammad SAW sebagai pemimpin tertinggi punya caranya sendiri. Sebagai seorang Saudagar Handal, Muhammad SAW tahu betul bagaimana memajukan alur perekonomian di Madinah saat itu. Sistem ekonomi yang dimaksud memang bukan aturan terperinci yang mencakup penerapan-penerapan nilai ekonomi yang beraneka ragam , namun itu adalah sebuah gambaran universal dari asas-asas dan kaidah-kaidah bijak serta nasehat-nasehat Sang Rasul dalam menjalanankan roda ekonomi[1]. walaupun bagi saya tidak bisa dikatakan bahwa itu semua adalah buatan Muhammad SAW sendiri, karena interaksinya dengan berbagai macam individu ( baca; Sahabat ) dan komunitas lain telah mengilhaminya dalam merumuskan beragam sistem yang sangat gemilang tersebut , hal lain adalah ia selalu dibimbing oleh yang mengutusnya yaitu Allah SWT, ( Wamaa yantiqu a’nil hawa, in huwa illa wahyun yuuha ) yang menjadikan segala petuah dan perilakunya begitu sakral di mata pengikutnya .Walhasil Muhammad SAW dengan Negara Madinahnya telah memperkenalkan kepada dunia sebuah rumusan peradaban madani yang berporos kepada nilai-nilai etika, logika, ketuhanan, dan kemanusiaan.

Ekonomi sebagai sebuah harapan

Ekonomi sebagai sebuah ilmu serapan dari filsafat memang telah melahirkan berbagai macam pendapat dan teori tentang bagaimana seharusnya manusia mendapatkan kesejahteraannya. lahirnya paham-paham ekonomi seperti Kapitalisme, Sosialisme dan lain sebagainya tak lain didasari akan sebuah harapan dan mimpi yang sama, yaitu kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dunia, walaupun pada prakteknya terkadang kesejahteraan itu sering dimonopoli oleh orang-orang atau institusi tertentu, entah dalam hal yang paling sederhana seperti keluarga sampai tingkat negara bahkan dunia. Selanjutnya paham Kapitalisme sebagai kiblat ekonomi dunia saat ini dianggap telah gagal mewujudkan harapan kesejahteraan ini dengan alasan yang beraneka ragam, dari sanalah muncul teori ekonomi Islam yang mulai dilirik dan diharapkan mampu mengurai kebuntuan sistem ekonomi dunia saat ini. Walaupun lagi-lagi perlu diperhatikan bahwa ekonomi Islam tumbuh dan mulai berkembang di tengah-tengah raksasa kapitalisme modern yang tentu saja paham itu ikut membumbui dan bahkan meracuni tujuan sesungguhnya ekonomi Islam itu sendiri.

Nilai luhur Ekonomi Islam

Seperti yang disinggung oleh syekh Yusuf Al-Qaradhawi dalam kitabnya Daurul Qiyami Wal Akhlak fil Iqtishadil Islamiyyi bahwa kelebihan dari ekonomi Islam dibandingkan dengan sistem yang lain ialah, karena Islam memiliki nilai-nilai yang saling melengkapi satu sama lain, antara nilai ketuhanan ( Rabbaniyyah ), Etika ( Akhlakiyyah ), Kemanusiaan ( Insaniyyah ) dan kemoderatan ( Wasathiyah)[2]. Keempat unsur ini tidak bisa dipisahkan dan harus berjalan beriringan dalam pelembagaan sistem ekonomi yang madani.

Dalam hal ini nilai ketuhanan mewakili sebuah bentuk penghambaan kepada Pemilik kekuatan agung di jagad raya ini, bahwa segala bentuk pekerjaan yang kita lakukan diperhatikan dan dinilai oleh-Nya, yang ( mungkin ) akan berdampak kepada rasa takut para pelaku ekonomi untuk melakukan hal-hal yang menjadi batasan-batasan agama seperti perilaku riba,korupsi, kolusi,dll yang sudah jelas telah diharamkan dalam Islam.

Nilai etika mendeskripsikan aturan main para pelaku ekonomi terhadap lawan mainnya atau bahkan pada dirinya sendiri. bukankan kesuksesan Muhammad SAW dalam berniaga sebab kejujuran dan etika yang diperlihatkannya ?, bukankah pada awalnya salah satu sebab diterimanya nilai-nilia Islam ke pelosok dunia karena terkesan melihat keramahan para pedagang-pedagang Muslim yang menjajakan dagangannya ?, inilah makna dari sebuah ungkapan bijak “Al-Islamu Risaalatun Akhlakiyyah” (Islam adalah sebuah Pesan keluhuran ). Begitu Sangat pentingnya nilai Etika, sampai hal ini menjadi tujuan utama diutusnya Muhammad SAW ke alam dunia “ dan tidaklah aku diutus kecuali untuk menyempurnakan keluhuran akhlak “.

Yang ketiga adalah nilai kemanusiaan, dalam hal ekonomi kita dapat meletakkan manusia sebagai tujuan ( hadf ) dan juga sebagai perantara ( washilah ) untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar dari hanya sekedar keuntungan materi ( walupun bukan berarti menafikan ), namun bagaimana sistem ini mampu mengisi kehampaan spiritualitas dalam diri si pelaku ekonomi. seperti diketahui tujuan ekonomi Islam adalah menciptakan kehidupan masyarakat yang sejahtera dengan jalan mempergunakan segala perangkat-perangkat yang mendukung terciptanya kesejahteraan tersebut dan tidak bertentangan dengan nilai Agama, itu berarti tujuan berekonomi dalam Islam bukanlah sebatas memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya, namun bagaimana kegiatan ekonomi ini mampu memberikan andil dalam membangun peradaban manusia. Nilai ini akan menjadikan ekonomi bukan sebagai sistem semata, namun sebagai rahmat bagi seluruh manusia, khusunya bagi para dhu’afa dari anak-anak yatim,orang-orang miskin dan semua lapisan masyarakat yang membutuhkan.

Nilai selanjutnya adalah kemoderatan atau dalam bahasa yang lain bisa kita sebut keseimbangan ( balance) yang semestinya terbentuk antara masing-masing kepentingan. Jikalau kita perhatikan paham kapitalisme dan sosialisme, dua paham ekonomi terbesar ini memiliki asas yang saling bersebrangan satu dengan yang lainnya. yang pertama lebih mementingkan aspek individualistic, sehingga dapat digambarkan bahwa pemilik modal ( capital ) adalah penguasa segalanya, sedangkan yang kedua lebih memberikan kekuasaan penuh kepada sulthah atau pemerintah dalam menentukan nasib rakyatnya. Disini sangat terlihat jelas ketimpangan yang terjadi pada masing-masing kubu –isme, Maka ekonomi Islam hadir untuk menyeimbangkan keduanya, sebagaimana Islam mewasiatkan kepada umatnya untuk berlaku seimbang terhadap kepentingan dunia dan akhirat, antara kebutuhan tubuh dan jiwa, antara asupan akal dan hati,dsb[3]. ketika ke-empat point itu mampu bersinergi, maka hal lain yang juga penting adalah person’s ability, dalam hal ini adalah pelaku ekonomi yang harus memiliki mentalitas, keilmuan dan spiritualitas yang mapan, sehingga sistem ini mampu berjalan pada arah dan tujuan yang dicita-citakan Islam.

Penutup

Jika kita kembali ke zaman Rasulullah SAW, yang mana saat itu belum ada sistem ekonomi modern seperti saat ini, maka kita akan mendapatkan sesuatu yang luhur sebagai tujuan utama pergerakan ekonomi masyarakat Islam kala itu. Ekonomi dijadikan sebagai alat perantara untuk menghambakan diri kepada Allah SWT dan bukan tujuan yang utama. Kalaulah rasulullah SAW dan para sahabat bukanlah seorang manusia biasa yang memerlukan makan, minum dan aktifitas kemanusian yang lainnya, atau dalam menyebarkan ketauhidan tidak membutuhkan harta benada, mungkin saja kehidupan mereka hanya terkhususkan untuk menyembah kepada Allah SWT pada siang dan malam mereka, walaupun hal itu memang mustahil jika kita pikirkan saat ini. Namun point terpenting bagi penulis adalah bagaimana menjadikan ekonomi bukan tujuan namun alat menuju kebangkitan spiritualitas yang diharapkan mampu terejawantahkan dalam bentuk nyata agar tercipta peradaban manusia yang benar-benar memanusiakan manusia.Wallahu A’lam



[1] Yusuf Al-Qaradhawi,Daurul Qiyami Wal Akhlak fil Iqtishadil Islamiyyi. Kairo:Maktabah Wahbah,h.14

[2] Ibid, h.27

[3] Ibid,h.83