Kamis, 24 Februari 2011

EKONOMI ISLAM “ meretas jalan baru menuju rekonstruksi spiritualitas ekonomi “

Pendahuluan

Islam Sebagai salah satu Agama Samawi yang yang berporos kepada Pandangan Monotheisme, telah berabad-abad lamanya mengklaim dirinya sebagai Agama yang Syamil dan Kaamil, bertolak pada cakupan hukum yang terkandung dalam dua peninggalan terpenting Islam yaitu Al-Qur’an dan Assunnah yang memang tak bisa dibantah memiliki nilai Universalitas pandangan yang unik yang tidak dimiliki oleh Sistem Spiritualitas yang lain ( baca;agama ), mulai dari hal yang terlihat sepele seperti Mengatur pengikutnya tata cara makan dan minum yang baik, cara beristirahat, bermuamalah dengan sesama manusia ( baik Muslim atau non-muslim) sampai aturan-aturan besar berkenaan dengan hubungan internal dalam sebuah komunitas ( baca; Negara ) dan Eksternal dengan komunitas lain. Awalnya Semua Bermula dari sebuah komunitas kecil di kota Madinah ( yang saat itu bernama Yastrib ) yang kemudian merubah kejadulan peradaban dunia saat itu dengan sentuhan tangan dingin Seorang Muhammad SAW pada sekitar abad ke 7 Masehi, seperti yang ditulis oleh salah seorang Cendikiawan Muslim terkemuka Indonesia Prof.Dr.Nurchalis Madjid ( Cak Nur ) dalam bukunya “ Indonesia Kita “, beliau mengatakan Bahwa Negara Madinah (bukan Negara Islam ) yang dipimpin oleh Muhammad SAW memiliki Sistem pelembagaan pertama dan termaju di zamannya, dengan Piagam Madinah Sebagai Magnum Oppus yang melatarbelakangi terciptanya Peradaban baru tersebut yang kemudian disebut Peradaban Islam. Dalam hal politik misalnya, piagam madinah telah menyatukan Masyarakat dari berbagai suku untuk bersatu dalam satu bangsa yaitu bangsa Madinah, mengatur kebebasan beragama, dan menerapkan undang-undang keselamatan seperti hukuman qishas dan membentuk kesatuan politik dalam mempertahankan madinah.

Dalam mengatur transaksi keuangan antar masyarakat madinah saat itu , yang memang terkenal cukup maju, Muhammad SAW sebagai pemimpin tertinggi punya caranya sendiri. Sebagai seorang Saudagar Handal, Muhammad SAW tahu betul bagaimana memajukan alur perekonomian di Madinah saat itu. Sistem ekonomi yang dimaksud memang bukan aturan terperinci yang mencakup penerapan-penerapan nilai ekonomi yang beraneka ragam , namun itu adalah sebuah gambaran universal dari asas-asas dan kaidah-kaidah bijak serta nasehat-nasehat Sang Rasul dalam menjalanankan roda ekonomi[1]. walaupun bagi saya tidak bisa dikatakan bahwa itu semua adalah buatan Muhammad SAW sendiri, karena interaksinya dengan berbagai macam individu ( baca; Sahabat ) dan komunitas lain telah mengilhaminya dalam merumuskan beragam sistem yang sangat gemilang tersebut , hal lain adalah ia selalu dibimbing oleh yang mengutusnya yaitu Allah SWT, ( Wamaa yantiqu a’nil hawa, in huwa illa wahyun yuuha ) yang menjadikan segala petuah dan perilakunya begitu sakral di mata pengikutnya .Walhasil Muhammad SAW dengan Negara Madinahnya telah memperkenalkan kepada dunia sebuah rumusan peradaban madani yang berporos kepada nilai-nilai etika, logika, ketuhanan, dan kemanusiaan.

Ekonomi sebagai sebuah harapan

Ekonomi sebagai sebuah ilmu serapan dari filsafat memang telah melahirkan berbagai macam pendapat dan teori tentang bagaimana seharusnya manusia mendapatkan kesejahteraannya. lahirnya paham-paham ekonomi seperti Kapitalisme, Sosialisme dan lain sebagainya tak lain didasari akan sebuah harapan dan mimpi yang sama, yaitu kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dunia, walaupun pada prakteknya terkadang kesejahteraan itu sering dimonopoli oleh orang-orang atau institusi tertentu, entah dalam hal yang paling sederhana seperti keluarga sampai tingkat negara bahkan dunia. Selanjutnya paham Kapitalisme sebagai kiblat ekonomi dunia saat ini dianggap telah gagal mewujudkan harapan kesejahteraan ini dengan alasan yang beraneka ragam, dari sanalah muncul teori ekonomi Islam yang mulai dilirik dan diharapkan mampu mengurai kebuntuan sistem ekonomi dunia saat ini. Walaupun lagi-lagi perlu diperhatikan bahwa ekonomi Islam tumbuh dan mulai berkembang di tengah-tengah raksasa kapitalisme modern yang tentu saja paham itu ikut membumbui dan bahkan meracuni tujuan sesungguhnya ekonomi Islam itu sendiri.

Nilai luhur Ekonomi Islam

Seperti yang disinggung oleh syekh Yusuf Al-Qaradhawi dalam kitabnya Daurul Qiyami Wal Akhlak fil Iqtishadil Islamiyyi bahwa kelebihan dari ekonomi Islam dibandingkan dengan sistem yang lain ialah, karena Islam memiliki nilai-nilai yang saling melengkapi satu sama lain, antara nilai ketuhanan ( Rabbaniyyah ), Etika ( Akhlakiyyah ), Kemanusiaan ( Insaniyyah ) dan kemoderatan ( Wasathiyah)[2]. Keempat unsur ini tidak bisa dipisahkan dan harus berjalan beriringan dalam pelembagaan sistem ekonomi yang madani.

Dalam hal ini nilai ketuhanan mewakili sebuah bentuk penghambaan kepada Pemilik kekuatan agung di jagad raya ini, bahwa segala bentuk pekerjaan yang kita lakukan diperhatikan dan dinilai oleh-Nya, yang ( mungkin ) akan berdampak kepada rasa takut para pelaku ekonomi untuk melakukan hal-hal yang menjadi batasan-batasan agama seperti perilaku riba,korupsi, kolusi,dll yang sudah jelas telah diharamkan dalam Islam.

Nilai etika mendeskripsikan aturan main para pelaku ekonomi terhadap lawan mainnya atau bahkan pada dirinya sendiri. bukankan kesuksesan Muhammad SAW dalam berniaga sebab kejujuran dan etika yang diperlihatkannya ?, bukankah pada awalnya salah satu sebab diterimanya nilai-nilia Islam ke pelosok dunia karena terkesan melihat keramahan para pedagang-pedagang Muslim yang menjajakan dagangannya ?, inilah makna dari sebuah ungkapan bijak “Al-Islamu Risaalatun Akhlakiyyah” (Islam adalah sebuah Pesan keluhuran ). Begitu Sangat pentingnya nilai Etika, sampai hal ini menjadi tujuan utama diutusnya Muhammad SAW ke alam dunia “ dan tidaklah aku diutus kecuali untuk menyempurnakan keluhuran akhlak “.

Yang ketiga adalah nilai kemanusiaan, dalam hal ekonomi kita dapat meletakkan manusia sebagai tujuan ( hadf ) dan juga sebagai perantara ( washilah ) untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar dari hanya sekedar keuntungan materi ( walupun bukan berarti menafikan ), namun bagaimana sistem ini mampu mengisi kehampaan spiritualitas dalam diri si pelaku ekonomi. seperti diketahui tujuan ekonomi Islam adalah menciptakan kehidupan masyarakat yang sejahtera dengan jalan mempergunakan segala perangkat-perangkat yang mendukung terciptanya kesejahteraan tersebut dan tidak bertentangan dengan nilai Agama, itu berarti tujuan berekonomi dalam Islam bukanlah sebatas memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya, namun bagaimana kegiatan ekonomi ini mampu memberikan andil dalam membangun peradaban manusia. Nilai ini akan menjadikan ekonomi bukan sebagai sistem semata, namun sebagai rahmat bagi seluruh manusia, khusunya bagi para dhu’afa dari anak-anak yatim,orang-orang miskin dan semua lapisan masyarakat yang membutuhkan.

Nilai selanjutnya adalah kemoderatan atau dalam bahasa yang lain bisa kita sebut keseimbangan ( balance) yang semestinya terbentuk antara masing-masing kepentingan. Jikalau kita perhatikan paham kapitalisme dan sosialisme, dua paham ekonomi terbesar ini memiliki asas yang saling bersebrangan satu dengan yang lainnya. yang pertama lebih mementingkan aspek individualistic, sehingga dapat digambarkan bahwa pemilik modal ( capital ) adalah penguasa segalanya, sedangkan yang kedua lebih memberikan kekuasaan penuh kepada sulthah atau pemerintah dalam menentukan nasib rakyatnya. Disini sangat terlihat jelas ketimpangan yang terjadi pada masing-masing kubu –isme, Maka ekonomi Islam hadir untuk menyeimbangkan keduanya, sebagaimana Islam mewasiatkan kepada umatnya untuk berlaku seimbang terhadap kepentingan dunia dan akhirat, antara kebutuhan tubuh dan jiwa, antara asupan akal dan hati,dsb[3]. ketika ke-empat point itu mampu bersinergi, maka hal lain yang juga penting adalah person’s ability, dalam hal ini adalah pelaku ekonomi yang harus memiliki mentalitas, keilmuan dan spiritualitas yang mapan, sehingga sistem ini mampu berjalan pada arah dan tujuan yang dicita-citakan Islam.

Penutup

Jika kita kembali ke zaman Rasulullah SAW, yang mana saat itu belum ada sistem ekonomi modern seperti saat ini, maka kita akan mendapatkan sesuatu yang luhur sebagai tujuan utama pergerakan ekonomi masyarakat Islam kala itu. Ekonomi dijadikan sebagai alat perantara untuk menghambakan diri kepada Allah SWT dan bukan tujuan yang utama. Kalaulah rasulullah SAW dan para sahabat bukanlah seorang manusia biasa yang memerlukan makan, minum dan aktifitas kemanusian yang lainnya, atau dalam menyebarkan ketauhidan tidak membutuhkan harta benada, mungkin saja kehidupan mereka hanya terkhususkan untuk menyembah kepada Allah SWT pada siang dan malam mereka, walaupun hal itu memang mustahil jika kita pikirkan saat ini. Namun point terpenting bagi penulis adalah bagaimana menjadikan ekonomi bukan tujuan namun alat menuju kebangkitan spiritualitas yang diharapkan mampu terejawantahkan dalam bentuk nyata agar tercipta peradaban manusia yang benar-benar memanusiakan manusia.Wallahu A’lam



[1] Yusuf Al-Qaradhawi,Daurul Qiyami Wal Akhlak fil Iqtishadil Islamiyyi. Kairo:Maktabah Wahbah,h.14

[2] Ibid, h.27

[3] Ibid,h.83

Tidak ada komentar: