Rabu, 21 November 2007

Arogansi Kebenaran




Lebaran kali ini memang bagi saya tidak begitu Penting, karena Ramadhan tahun ini saya belum bisa melakukan yang terbaik bagi diri saya untuk merengkuh jutaan nikmat yang konon tersembunyi pada bulan yang satu ini. Begitu banyak ulasan Ramadhan yang sering didongengkan oleh para Alim negeri ini, namun serasa itu semua hanya ulasan biasa yang selalu diulang-ulang setipa tahunnya. Selalu pada setiap kesempatan Ramadhan Para da'imenyetir ayat Al-Baqarah 183; “ Hai orang-orang yang beriman , diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa, seperti yang telah diwajibkan atas umat-umat sebelum kamu , agar kamu bertaqwa “ . Penjelasannyapun tidak begitu berbeda dengan dua atau tiga tahun sebelumnya; yaitu agar setelah kita selesai berpuasa, kita telah terbiasa dengan prilaku baik yang kita kerjakan di Bulan Ramadhan, dan intinya agar kita menjadi manusia-manusia yang muttaqin ( Golongan orang-orang yang bertaqwa ).dalam hal ini penulis akui bahwa memang nilai-nilai kebajikan itu harus selalu disampaikan kepada Ummat, untuk mengingatkan kembali Tujuan Ibadah kita di bulan Ramadhan, namun sangat tidak lazim ketika Nilai-nilai yang digembor-gemborkan saat khutbah-khutbah Ramadhan itu serasa tak berbekas ketika Ramadhan akan berakhir.
Sudah beberapa tahun ini, ketika akhir Ramadhan umat Islam di Indonesia di buat terus-terusan bingung oleh para ulama dan umara negeri ini, betapa tidak ! Menentukan Hari Idul fitri jatuh pada tanggal berapa-pun para alim negara ini belum bisa memberikan satu ketegasan . sebagian mengklaim bahwa tanggal 1 syawal yang ditentukan oleh salah satu organisasi masa itu sudah berpijak pada sumber-sumber Al-Qur’an dan Hadist, dtambah lagi dengan teori ilmu pengetahuan yang akurat , namun lagi-lagi kesimpulan teori itu berbeda dengan yang didapat oleh Ormas lainnya yang juga mengklaim bahwa kesimpulan mereka berdasarkan Al-Qur’an dan hadist.
Tanggal 11 Oktober 2007 Kemarin para ahli astronomi sampai Ulama hadist berkumpul di Departemen Agama untuk mengadakan sidang Istbat, sebagai langkah awal penentuan Awal bulan Syawal. Walaupun begitu banyak ahli yang datang saat itu, tetap saja tidak bisa menggerakkan hati masyarakat yang sudah seakan mempunyai keterkaitan bathin oleh satu Ormas Islam untuk mengikuti keputusan yang dikeluarkan oleh Departemen Agama, lalu apa fungsi Institusi Keagamaan tersebut kalau permasalahan ini tidak bisa teratasi ?. tersadar atau tidak sidang istbat yang pastinya memakan waktu dan biaya itu seakan hanya sebatas kumpul-kumpul silaturahmi para alim ulama Indonesia untuk bermaaf-maafan sebelum berakhirnya Ramadhan. Bagi saya Kalau hanya ingin mengetahui Awal bulan syawal-pun anak kecil yang baru belajar puasa bisa menghitung sendiri kapan akan lebaran , malahan dari awal Bulan Ramadhan juga mereka sudah bisa menghitung kapan mereka akan membeli baju baru untuk keperluan Lebaran, hanya perlu menghitung hari selama 29 atau 30 hari .
Namun penulis sadari bahwa penentuan syawal bukan seenteng yang dipikirkan oleh anak kecil, namun ada banyak hal yang lebih kompleks dari sekedar baju baru, yaitu sebuah "keyakinan". Salah satunya mungkin tentang haram tidaknya puasa pada hari yang diyakininya, sebuah contoh yang sederhana, jika ada ormas Islam yang berlebaran pada hari jum’at ,maka secara tidak langsung mereka meyakini bahwa puasa pada hari itu adalah sebuah keharaman, begitupun sebaliknya, ormas Islam yang merayakan lebaran pada hari Sabtu, secara tidak langsung akan meyakini bahwa kelompok yang merayakan Idul fitri pada hari jum’at kurang dalam jumlah puasanya .
Walaupun dalam setiap kesempatan para alim ulama Indonesia sering mengatakan bahwa perbedaan itu jangan dijadikan ajang untuk saling menjatuhkan, namun bagi saya bagaimanapun seseorang menunjukkan wajah kebijaksanaannya dalam hal yang tidak dia yakini, keyakinan itu akan tetap menjadi benih permusuhan yang tumbuh dalam dirinya, dan disadari atau tidak , hal itulah yang membuat kita nantinya akan sungkan atau bahkan enggan untuk menjalin ukhuwah yang lebih erat. Dalam masyarakat Awwam yang cendrung masuk ke dalam ruang lingkup pemikiran Muhammadiyah misalnya, yang membid’ahkan amalan qunut , walaupun dalam bermuamalah dengan warga NU akan terkesan baik-baik saja , namun dalam tataran keyakinan tetap saja mereka akan menyalahkan perilaku tersebut, tentu benih inilah yang akan menjadi “racun ke-ukhuwah-an” diantara kedua kelompok tersebut.
Terkadang saya merasa ragu untuk menangggapi pendapat seorang nasrani yang berkomentar “ Sesama orang Islam Indonesia ngurusin kapan bulan sabit ( awal bulan ) muncul aja ga pernah sama , gmn mau bersatu dengan orang non muslim dalam membangun Indonesia ? “. Perbedaan memang Rahmat, namun jangan jargon itu selalu menjadikan kita selalu berbeda !, Sulit memang bila semua pihak merasa benar dengan argumen dan pendapatnya masing-masing, namun saya yakin bila semua tokoh Islam bisa berendah hati , maka penentuan Awal Syawal tidak kembali terkesan menjadi “symbol perpecahan umat Islam Indonesia “ pada setiap tahunnya, katanya bulan Ramadhan tempat latihan rendah hati dan saling menghargai !, namun Ramadhan belum usaipun kita sudah tidak bisa berendah hati, lalu apa fungsi Ramadhan ? .
Umat Islam Indonesia memang harus dipahami dengan sebuah etika berhukum Islam di Indonesia, sebagai seorang yang bijaksana seharusnya rakyat muslim Indonesia harus menyadari bahwa hukum Fiqih kita bukan Fiqih mazhab semata, namun ada fiqih Negara yang menjadi ijtihad para Ulama muslim di Indonesia, bukankah dalam qaidah Ushuliyah yang biasa ditekankan di pesantren menyatakan bahwa “ Al-Hukmu yataghayyaru bi taghayyuri makan wal zaman “ ketentuan hukum itu akan berubah sesuai dengan perubahan tempat dan zaman !. Dalam penentuan syawal biarlah kita serahkan hal itu kepada Ulama-ulama di tingkat Nasional (baca: Departemen agama), toh kita tidak akan berdosa bilapun ijtihad Ulama kita salah di mata Allah, dan persatuan umatpun akan terjaga, jangan malahan selalu mementingkan pendapat golongannya.Lalu apakah kita ingin menjadi sangat sekuler yang menafyikan peran negara dalam perihal keagamaan kita ?, bahkan dalam hal persatuan umat !, jangan biarkan perihal kebenaran menutup hati kita untuk saling bergandeng tangan, jangan biarkan kebenaran terus menampakkan arogansinya , hingga kita kehilanga akal dan tak mampu berpikir bijaksana dalam menegakkan persatuan. Wallahu a’alam

Tidak ada komentar: